23 Maret 2005, bayi mungil terlahir dalam keadaan prematur. Sang Ibu terlihat letih setelah berjuang pagi itu. Namun, senyumnya segera merekah melihat buah hatinya lahir dengan selamat. Sang Bapak – ayahku – pun tak kalah bahagianya dengan ibuku. Ya, itu adalah adikku. Adik yang beberapa bulan ini membuatku tidak tenang menanti kelahirannya.
Sepulang sekolah, aku dan kakakku, Anis, yang memang satu sekolah, pulang bersama. Sesampainya di rumah, terlihat ayahku seperti menanti kedatangan seseorang.
“Nah, akhirnya pulang juga! Nis, Jib, ikut nggak liat adik bayi?”, tanya Ayah yang tampak lega karena yang ia tunggu-tunggu sudah datang. Kami berdua yang masih memarkir sepeda kami, terdiam mematung. Bingung, kaget, bahagia, semua bercampur jadi satu. Menerka siapakah bayi yang dimaksud.
“Memangnya bayinya siapa , Yah?”, tanyaku penasaran.
“Sudah, kalian cepat ganti baju sana, kita langsung berangkat”. Aku dan kakakku segera masuk ke dalam rumah dan bergegas ganti baju. Perkataan ayahku tadi membuatku penasaran tentang bayi itu.
Setelah semua siap, Ayah mengunci pintu dan pagar rumah, dan kami pun berangkat mengendarai ‘gerobak’ –begitulah Ayah biasanya menyebut mobil tua milik keluarga kami. Di perjalanan, Aku makin penasaran dan mencoba menerka siapa bayi yang Ayah maksud. Mungkinkah Ibu sudah melahirkan? Ah, tidak mungkin, usia kandungan Ibu kan baru tujuh bulan? Tapi, mungkinkah Ayah begitu bersemangat mengajak kami bila ‘hanya’ temannya yang melahirkan? Sungguh membingungkan. Entah karena kelelahan atau apa, aku tertidur di dalam mobil.
Perlahan mobil kami menepi dan memasuki halaman sebuah rumah sakit. Aku terbangun dan melihat sekeliling. Aku mulai mengenali tempat ini. Ya, ini adalah rumah sakit tempat ibu biasanya cek kehamilan tiap bulan. Aku menahan semua pikiranku, apa benar Ibu sudah melahirkan? Atau teman Ayah ada yang melahirkan di rumah sakit ini? Berbagai pertanyaan muncul di benakku, namun Aku tak berani menduga, hanya menunggu, menunggu semua menjadi cukup jelas.
Lorong-lorong rumah sakit itu rasanya panjang sekali dan tak berujung. Entah mengapa, Aku merasa gelisah, tidak nyaman, atau apalah namanya, yang pasti baru kali ini Aku merasa begitu galau memasuki sebuah rumah sakit. Kami bertiga, sejak turun dari mobil belum ada yang berbicara sepatah kata pun. Ayah, sepertinya ingin membuat kami penasaran dengan diam seribu bahasa tanpa memberikan petunjuk mengenai bayi yang Ayah katakan di rumah tadi.